Daftar isi [Tampil]
KOPERASI PAKAM (PETANI KARET MAKMUR)
Reskia Ekasari
“Jangan
tanyakan padaku apa arti kemiskinan karena Anda sudah melihatnya dari luar
rumah saya. Lihat rumah ini dan hitung jumlah lubangnya. Lihat perlengkapan
yang ada dan pakaian yang saya kenakan. Lihat semua hal dan tuliskan apa yang
Anda lihat. Apa yang Anda lihat adalah kemiskinan.
(Laki-laki
miskin, kenya. Dikutip oleh Todaro)
Pada awal perkuliahan
Pengantar Ekonomi Pembangunan, penulis mendapati sebuah kesimpulan yang hingga
saat ini menjadi pelajaran terbesar bagi penulis mengenai prinsip sebuah
pembangunan. Menurut Bank Dunia, tantangan utama pembangunan adalah memperbaiki
kualitas hidup manusia. Todaro dalam bukunya Economic Development sepakat bahwa pembanguan adalah sebuah cara
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Todaro, 2004). Dalam konteks negara
Indonesia, pembangunan dapat dikatakan berhasil jika seluruh rakyat Indonesia
merasa sejahtera. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah Apakah pembangunan
di Indonesia sudah mensejahterakan seluruh rakyatnya? Tentu belum. Salah satu
tolak ukur dari kesejahteraan masyarakat adalah kemiskinan, maka semakin rendah
persentase kemiskinan suatu negara maka semakin baik pula tingkat kesejahteraan
rakyatnya. Kemiskinan yang merupakan isu global ini sudah sejak lama masuk
dalam tujuan SDGs (Sustainable
Development Goals), yaitu mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk.
Indonesia mempunyai
standar tersendiri dalam menentukan garis kemiskinan, yakni menurut data yang
dirilis dari Badan Pusat Statistik mengenai Indikator Kesejahteraan Rakyat (2017),
bahwa penduduk sudah dikatakan sejahtera ketika pendapatan perkapitanya
mencapai angka Rp. 374.478 perbulan. Jika menggunakan standar yang diterapkan
di Indonesia, maka pada tahun 2017 ada sekitar 27,77 juta penduduk Indonesia
yang berada di garis kemiskinan (BPS, 2017). Padahal jika menuruti standar Bank
Dunia, penduduk ialah adalah penduduk dengan total pendapatannya kurang dari
$1,9 perhari (World Bank, 2017). Artinya jika dilihat secara global, penduduk
miskin di Indonesia ternyata bukan berjumlah 27,77 juta orang tetapi lebih dari
itu. Melalui situs berita online yakni
JawaPos.com, Enny Sri Hartati, Direktur Institute
for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, jika tigkat
kemiskinan Indonesia mengikuti standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan bisa
lebih dari dua kali lipat.
Sumatera Selatan
(Sumsel) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang juga memiliki
permasalahan serupa yakni kemiskinan. Penduduk miskin di Sumsel beberapa tahun
terakhir mengalami penurunan, walaupun pada tahun 2015 pernah mengalami
kenaikan jumlah penduduk miskin, tetap saja persentase saat ini menjadi
perhatian lebih mengingat kesejahteraan masyarakat Sumsel. Berikut ini
disajikan data yang telah diolah dari BPS berdasarkan persentase penduduk
miskin tahun 2014-2018.
Pada
akhir Maret 2018, penduduk miskin di Sumsel berjumlah 1.068.270 orang atau
sebesar 12,80 persen yang masuk dalam
garis kemiskinan. Dari jumlah tersebut penduduk desa mendominasi dengan angka
mencapai 689 ribu penduduk miskin. Hal ini memberi arti bahwa sebagian besar
masyarakat di Sumsel yang belum mencapai tingkat kesejahteraan penduduk adalah
mereka yang berasal dari pedesaan (BPS, 2018). Masyarakat pedesaan yang
notabenenya adalah petani belum sepenuhnya merasakan dampak positif dari adanya
penurunan jumlah persentase tingkat kemiskinan di Sumsel. Apalagi akhir-akhir
ini pemerintah lebih terfokus untuk membangun infrastruktur di perkotaan demi
menyambut Asian Games 2018 pada bulan kemarin, hal ini membuat beberapa sektor
kurang teroptimalkan dengan baik seperti sektor pertanian yang mendominasi di
pedesaan. Padahal menurut penelitian yang pernah dilakukan, mengungkapkan bahwa
pada tahun 2012 hingga 2015 penyerapan tenaga kerja di Sumsel paling banyak
terjadi pada sektor pertanian dengan rata-rata persentase tenaga kerja sebesar
54,8 persen (Trianto, 2017). Jika pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan
pembangunan di sektor pertanian bukan tidak mungkin tingkat kemiskinan di
pedesaan akan berkurang.
Berdasarkan
data yang diolah dari sebuah publikasi yakni Sumatera Selatan dalam Angka tahun
2006-2014, ternyata Musi Banyuasin (Muba) merupakan kabupaten dengan kontribusi
PDRB terbesar di Sumatera Selatan dengan jumlah persentase 2,60 persen dari
21,79 persen (Oktavia, 2015). Muba yang kaya potensi Sumber Daya Alamnya
ternyata belum mampu mensejahterakan rakyatnya, hal ini dibuktikan dari tingkat
kemiskinan yang ada. Pada akhir Maret 2015, Muba menjadi kabupaten termiskin
kedua setelah Musi Rawas Utara dengan jumlah persentase penduduk miskin sebesar
18,35 persen. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 17,38
persen, artinya Muba masih memiliki banyak persoalan yang belum teroptimalkan
(BPS, 2016). Penduduk Muba yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian
ternyata belum merasa sejahtera, salah satunya petani karet. Harga yang
naik-turun menjadi permasalahan setiap tahunnya.
Menurut penelitian, tingkat produksi karet
oleh petani di Muba masih terbilang rendah, hal ini diakibatkan permasalahan
usaha petani karet yang masih tradisional. Dikatakan tradisional, ketika
pengelolaan kebun karet masih kurang intensif, mulai dari awal pembibitan,
pemeliharaan kebun hingga pasca panen. Tidak hanya itu, petani karet yang
tergolong tradisional masih memiliki kendala pada terbatasnya lahan dan modal
yang dimiliki serta kualitas sumber daya manusia yang tidak mumpuni.
Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab belum maksimalnya pendapatan yang
diperoleh petani karet (Yusvi, 2014). Selain itu, ketika musim peremajaan kebun
karet tiba, petani karet dipusingkan lagi dengan biaya peremajaan tersebut
khususnya petani karet tradisional. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil
penelitian yang mengatakan bahwa untuk petani maju mayoritas mampu menanggung
biaya peremajaan, sedangkan petani tradisional mayoritas tidak mampu menanggung
biaya tersebut. Hal ini terjadi karena faktor modal yang terbatas sehingga
petani tradisional terhambat untuk melaksanakan peremajaan kebun karet miliknya
(Jenahar, 2017).
Selain
permasalahan yang dipaparkan di atas, petani tradisional masih memiliki
permasalahan lain yakni pola pikir dan kebiasaan yang masih kuno alias
menganggap bahwa semakin berat getah karet yang dihasilkan (berisi kotoran dan
air) maka akan membuat nilainya mahal, padahal pernyataan tersebut tidak benar.
Hal ini berarti petani karet perlu adanya sosialisasi dan bimbingan terkait
cara panen yang benar dan bernilai tinggi. Kemudian, panjangnya mata rantai
pembelian karet oleh tengkulak juga harus dipotong karena membuat harga jual
akan semakin murah (Purwanti, 2018). Hampir seluruh daerah mengalami hal yang
serupa, salah satunya yang dirasakan petani karet di Ogan Komering Ulu, mereka
berkeluh kesah karena adanya tengkulak yang bertindak curang seperti memainkan
timbangan, sehingga harga menjadi tinggi tetapi timbangan yang mereka
permainkan, kemudian harga yang berbeda-beda antar tengkulak karena alasan
jarak tempuh (Juwita, 2018). Melihat banyaknya permasalahan yang ada, penulis
sebagai anak muda menawarkan sebuah gagasan yakni Koperasi PAKAM (Petani Karet Makmur). Besar harapan penulis, konsep
ini mampu direalisasikan dan menjadi bahan pertimbangan pemerintah sebagai
solusi atas permasalahan yang kian rumit tersebut.
Apa sih Koperasi PAKAM ?
Sejauh
ini koperasi simpan pinjam konvensional yang ada masih berbau riba. Ketika
anggota atau pihak mengajukan pinjaman kepada koperasi akan dikenakan tambahan
dari utang tersebut, hal ini masih termasuk riba dan hukumnya haram karena
merugikan pihak si peminjam serta tidak fair
untuk dilakukan (Tuasikal, 2014). Koperasi PAKAM hadir sebagai solusi untuk
memberantas permasalahan petani karet dengan mengadopsi akad yang diterapkan
oleh Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) agar terhindar dari unsur riba sehingga
petani tidak merasa dirugikan. PAKAM sendiri singkatan dari Petani Karet
Makmur, penulis mengharapkan dengan terlaksananya Koperasi PAKAM ini akan
mensejahterakan petani karet. Menurut bahasa, PAKAM sendiri diambil dari bahasa
daerah Sumsel yang berarti hebat, manjur, atau mujarab. Lagi-lagi penulis
optimis dengan penamaan koperasi tersebut bisa mengangkat kualitas hidup
masyarakat Sumsel terkhusus petani karet.
Dalam
penerapannya Koperasi PAKAM berpatok pada tiga akad atau penulis singkat dengan
3M yakni Mudharabah, Musyarakah, dan Murabahah. Akad Mudharabah
digunakan dalam pembiayaan jangka panjang yakni sebagai modal usaha (Najih,
2016) contohnya modal pertama tani di awal pembibitan hingga menghasilkan karet
yang produktif. Sembari menunggu karet yang ditanam tumbuh, petani karet diberi
penyuluhan untuk memiliki usaha sampingan yakni menanam bibit jagung atau
komoditas sejenis dengan modal yang terlah diberikan. Kemudian, hasil produksi
dapat dijual, dan untung atau rugi yang diperoleh akan diproses dengan akad
yang sudah ditentukan di awal yakni bagi hasil sesuai ketentuan kedua belah
pihak. Sebelum atau setalah karet tersebut panen, petani dapat menambah
proporsi modal yang dimilikinya.
Akad Musyarakah yang penulis maksud disini
adalah bentuk kerja sama antara modal dan keuntungan. Koperasi PAKAM yang
penulis gagaskan, menerapkan akad Musyarakah
Mutanaqishah dimana kerja sama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah
satu pihak sementara pihak lain bertambah kepemilikannya (Hosen, 2009). Bentuk
kerja sama ini berakhir dengan pengalihan barang atau aset hak salah satu pihak
kepada pihak lain. Keuntungan yang diperoleh dari penerapan akad ini adalah
pada saat barang atau aset belum sepenuhnya menjadi pihak lain, dengan adanya
biaya sewa dari barang tersebut. Dalam
penerapannya, petani karet dapat menyewa peralatan-peralatan tani dan kemudian
biaya barang tersebut diangsur secara bertahap dan disertai biaya sewa. Akad
yang ketiga adalah Murabahah. Akad
ini termasuk akad jual-beli dimana Koperasi PAKAM sudah menentukan margin
keuntungan dari pembiayaan tersebut yang disepakati pihak penjual (koperasi)
dan pembeli, yang mewajibkan pembeli untuk melunasi kewajibannya sesuai jangka
waktu tertentu disertai pembanyaran imbalan berupa margin keuntungan tersebut.
Manfaat Koperasi PAKAM bagi Petani Karet
Adapun manfaat yang
diberikan dari Koperasi PAKAM bagi petani karet, adalah:
1. Mampu
menjawab persoalan modal pada saat pembibitan atau pra panen, seperti bibit
karet.
2. Memberikan
kemudahan dalam memenuhi kebutuhan kebun karet milik petani dengan adanya akad murabahah, seperti pupuk, pestisida
organik, dan bahan habis pakai lainnya.
3. Mempermudah
petani dalam memperoleh peralatan dengan akad musyarakah mutanaqishah guna mendukung produktivitas kebun karet.
4. Petani
tidak ditakutkan lagi dengan harga yang dipatok oleh tengkulak, karna penjualan
getah karet atau lateks akan dikontrol oleh Koperasi PAKAM dengan keuntungan
sesuai syariah.
5. Terbatasnya
lahan untuk digarap akan terjawab di Koperasi PAKAM, karena selain berfungsi
menyalurkan dana koperasi ini juga akan mempertemukan antara pemilik modal
(tanah) dengan petani karet, sesuai kesepakatan tanpa melanggar hukum ekonomi
Islam.
6. Adanya
pelatihan dan penyuluhan secara berkala membantu meningkatkan kualitas SDM
yakni petani karet tradisional menjadi petani yang terdepan dengan kapabilitas
yang mumpuni.
Keterangan:
Koperasi PAKAM ini di desain dengan tiga
pokok utama sebagai ciri khusus dari konsep ini. Pertama, Akad 3M (Mudharabah, Musyarakah, Murabahah). Akad
yang mempermudah segala keperluan petani karet sehingga dapat meningkatkan
pendapatan. Kedua, resep pakam. Konsep kedua ini memberi arti bahwa koperasi
ini tidak hanya persoalan memenuhi kebutuhan tetapi juga memperbaiki pola pikir
dan meningkatkan skill petani karet agar memperoleh hasil yang maksimal.
Kemudian terakhir konsep saling untung, disini maksudnya tidak ada yang
dirugikan baik tengkulak maupun petani karet.
Kesimpulan
Penulis sebagai pemuda daerah Musi
Banyuasin tentu peduli dengan kondisi daerahnya, berasal dari keluarga petani
membuat saya paham betul lika-liku permasalahan yang ada, pun didukung dengan
data penelitian yang pernah dilakukan membuat penulis menawarkan sebuah gagasan
yang terbilang sederhana ini yakni Koperasi PAKAM. Koperasi PAKAM bisa
dijadikan solusi untuk menurunkan angka kemiskinan di Sumsel terkhusus di
daerah penulis sendiri. Dengan konsep akad 3M, resep pakam, dan saling untung
membuat penulis optimis bahwa gagasan ini layak untuk dipertimbangkan oleh
pemerintah setempat. Permasalahan seperti terbatasnya modal, sumber daya
manusia yang kurang berkualitas, lahan yang terbatas, tidak adanya biaya untuk
pembibitan dan peremajaan, serta patokan harga yang berbeda-beda di kalangan
tengkulak, semuanya dapat diselesaikan dengan adanya Koperasi PAKAM. Dengan
demikian, penulis yakin sistem ini bisa menjadi solusi untuk mencapai salah
satu tujuan dari SDGs (Sustainable Development Goals), yakni mengakhiri kemiskinan dalam
segala bentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2017. Indikator
Kesejahteraan Rakyat 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2018. Profil Kemiskinan di
Indonesia Maret 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Hosen, N., 2009. Musyarakah Mutanaqishah. Jurnal Al-Iqtishad, I(2), pp.47-60.
Jenahar, J.T.
& S.K. Hildayanti., 2017. Analisis Kemampuan Tabungan Petani untuk
Menanggung Biaya Peremajaan Kebun Karetnya di Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Ecoment Global, 2(1), pp.51-58.
Juwita, Leni. Petani
Menjerit! Harga Karet di Kabupaten OKU Bervariasi Ditentukan Tengkulak.
[Diakses pada 14 September 2018].
Purwanti, J., 2018. Petani Karet Jangan Terlena dengan Kenaikan Harga Karet, Begini Saran
Gapkindo Sumsel. [Online] diunduh dari http://palembang.tribunnews.com/
2018/07/25/petani-karet-jangan-terlena-dengan-kenaikan-harga-karet-begini-saran-gapkindo-sumsel
[Diakses pada 14 September 2018].
Todaro, M.P., 2004. Economic Development. United Kingdom: Pearson Education Limited.
Trianto, A., 2017. Elastisitas Penyerapan Tenaga
Kerja di Provinsi Sumatera Selatan. AKUISISI, 13(1), pp.15-38.
Yusvi, G.S., Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Karet
Sebagai Respon dari Perubahan Teknologi Budidaya Karet Konvensional Ke Organik di Kabupaten Musi Banyuasin. Indralaya:
Universitas Sriwijaya.
World Bank, 2017.
World Development Indicators 2017.
Washington DC: World Bank.
Terima kasih sudah membaca Contoh Esai buatan saya yah. Jangan lupa yuk pelajari juga tips dan trik membuat esai.